Penagar.id, NASIONAL – Wacana memisahkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dari struktur langsung di bawah presiden memunculkan berbagai reaksi, termasuk resistensi internal.
Usulan ini muncul di tengah sorotan atas dugaan politisasi Polri dalam berbagai ajang demokrasi seperti Pemilu, Pilpres, Pileg, dan Pilkada.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai wacana ini memiliki tantangan besar.
“Wacana penempatan kepolisian tidak langsung di bawah presiden seperti saat ini pasti akan memunculkan resistensi dari Polri yang sangat besar,” kata Bambang mengutip Kompas, Minggu (1/12/2024).
Namun, Bambang mencatat bahwa di banyak negara maju, kepolisian berada di bawah kementerian terkait, yang dinilai mampu meningkatkan profesionalisme.
Jika diterapkan di Indonesia, langkah ini harus dilakukan secara matang.
“Polri adalah lembaga operasional, pelaksana yang harusnya memang dipisahkan dari lembaga penyusun anggaran maupun peraturan,” imbuhnya.
Menurut Bambang, sejumlah opsi kementerian yang dapat menaungi Polri mencakup Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum, atau bahkan kementerian baru yang fokus pada keamanan nasional.
Namun, ia mengingatkan bahwa setiap opsi perlu kajian mendalam dan mempertimbangkan konsekuensinya.
Sementara itu, wacana ini juga dipicu oleh tudingan terhadap Polri sebagai “Partai Coklat” atau “Parcok,” istilah yang pertama kali dilontarkan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Ia mengkritik dugaan pengerahan aparat dalam Pilkada Serentak 2024.
“Di Jawa Timur relatif kondusif, tetapi tetap kami mewaspadai pergerakan partai coklat ya, sama dengan di Sumatera Utara juga,” ujar Hasto pada Rabu (27/11/2024).(*)
Artikel ini telah tayang sebelumnya di versi lebih lengkap dengan judul “Wacana Polri Tak Lagi di Bawah Presiden Diprediksi Picu Perlawanan”