Penagar.id – Ratusan diaspora Indonesia menggelar demonstrasi besar bertajuk “People Taking Back Power Rakyat Indonesia Berkuasa!” di Federation Square, pusat Kota Melbourne, Selasa (2/9/2025).
Aksi ini diprakarsai oleh organisasi Melbourne Bergerak dan menjadi salah satu unjuk rasa terbesar terkait isu Indonesia yang pernah terjadi di Australia.
Koordinator aksi, Pipin Jamson, menyampaikan bahwa kegiatan ini adalah bentuk kepedulian terhadap kemanusiaan.
“Hari ini kita bergerak di sini, berkumpul untuk membela kemanusiaan,” ujarnya seperti dilansir detikcom.
Ia menambahkan, forum tersebut adalah simbol suara rakyat.
“Kita boleh bangga dengan apa yang kita lakukan hari ini karena ini adalah forum rakyat yang sebenarnya,” sambung Pipin.
Dalam orasinya, Pipin menyinggung kasus Affan Kurniawan yang meninggal dunia usai dilindas kendaraan taktis Brimob.
“Hari ini kita harus bersatu karena ojol ditindas, dilindas, bahkan sebelum dilindas oleh truk Barracuda itu sudah dilindas oleh kapitalisme, sudah digilas oleh gig economy,” serunya disambut yel-yel massa.
Sejumlah mahasiswa Indonesia yang hadir mengaku merasa semakin kuat dengan adanya solidaritas ini. Flo, mahasiswi S-2, menyatakan kerumunan itu mewakili berbagai lapisan masyarakat.
“Ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah kelewatan batas sehingga setiap orang dari segala kalangan, dari segala profesi semuanya datang untuk menunjukkan kekecewaannya kepada pemerintah,” katanya.
Ia menegaskan bahwa tuntutan massa bukan sekadar permintaan maaf.
“Kami tidak ingin hanya ada ucapan permintaan maaf, atau hanya ada anggota yang di-nonaktifkan, tapi kami benar-benar meminta ada perubahan di pemerintah, ada reformasi.”
Peserta aksi juga menepis tudingan adanya intervensi asing. Menurut Marya Yenita Sitohang, mahasiswi S3, aksi ini adalah gerakan murni dari warga Indonesia.
“Ini adalah gerakan organik yang terjadi di seluruh dunia karena kami rakyat Indonesia dan kami benar-benar kecewa dengan apa yang dilakukan pemerintah saat ini,” ucapnya.
Senada, Rafflialdi Hugo Atthareq, mahasiswa asal Indonesia, menegaskan nasionalismenya tidak pudar meski berada di luar negeri.
“Walaupun kita jauh, kita juga merasa akan berdampak kepada kita dan itu sangat penting,” katanya.
“Kita cuma berharap pemerintah bisa minta maaf, mengakui kesalahan, [kalau] ada beberapa orang [di DPR] yang harus turun, silakan turun karena sudah melakukan kesalahan.”
Soraya Sri Anggarawati, peserta aksi lainnya, menuding pemerintah hanya mementingkan kelompoknya.
“Harapan saya pemerintah benar-benar melaksanakan kebijakan yang baik, ada perbaikan sistem, perbaikan demokrasi ke depannya,” katanya.
“Enggak oligarki, dan semuanya mementingkan kepentingan rakyat.”
Tak hanya di Melbourne, warga Indonesia di Canberra juga merencanakan aksi lanjutan bertajuk “Tolak Impunitas, Lawan Kebrutalan Aparat terhadap Rakyat!” yang akan berlangsung Kamis (4/9/2025) di ANU Fellows Oval.
Avina Nadhila, koordinator aksi di Canberra, menegaskan gerakan ini sejalan dengan aksi solidaritas di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman.
“Kami menyadari perlunya international pressure [tekanan internasional] yang ditunjukkan supaya pemerintah Indonesia lebih aware apa yang mereka lakukan dan perbuat itu bukannya tidak dilihat oleh khalayak umum masyarakat dunia,” katanya.
Mahasiswa lain, Tan Jenar Kibar Lantang, menambahkan bahwa mahasiswa Indonesia di Canberra kecewa terhadap tindakan aparat maupun pejabat publik.
“Mahasiswa Indonesia di Canberra marah terhadap kekerasan aparat dan juga secara keseluruhan perbuatan pejabat publik yang sewenang-wenang,” ujarnya.
Tan menyinggung tuntutan yang sejalan dengan poin 17+8 yang beredar di media sosial, mulai dari pembentukan tim investigasi independen kasus pelanggaran HAM, penghentian keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil, hingga pembebasan demonstran yang ditahan.
Canberra Bergerak juga menuntut akuntabilitas legislatif dengan membekukan kenaikan gaji dan tunjangan DPR. Kritik terhadap wakil rakyat semakin keras setelah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia melayangkan surat terbuka pada 30 Agustus 2025.
Dalam surat itu, PPI Australia menyoal kunjungan anggota DPR ke Sydney yang dinilai tidak tepat waktu di tengah gelombang protes di Indonesia.
“Sebagai pelajar Indonesia di Australia, kami tidak bisa tinggal diam menyaksikan representasi legislatif yang mengabaikan rakyat dan bersembunyi di balik alasan kerja,” tulis surat tersebut.
“Kami malu memiliki wakil rakyat yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan jauh dari empati publik.”