Opini

“Moda’a Taluhu Moheyi Pombango” dan Jalan Merekonstruksi Kelembagaan Adat di Tingkat Provinsi

×

“Moda’a Taluhu Moheyi Pombango” dan Jalan Merekonstruksi Kelembagaan Adat di Tingkat Provinsi

Sebarkan artikel ini
Bantayo Poboide.(Foto : Dok. Ist.)
Bantayo Poboide.(Foto : Dok. Ist.)

Penulis : Ali Mobiliu (Jurnalis, Pemerhati adat dan Budaya Gorontalo)

Di era pemerintahan Gubernur Gusnar Ismail dan Idah Syahidah Rusli Habibie saat ini, upaya pelestarian adat-istiadat dan budaya Gorontalo kembali mendapat perhatian. Diantaranya, melalui Dinas Kearsipan dan Perpusatakaan, Pemerintah Provinsi Gorontalo hendak merumuskan kembali pedoman adat Gorontalo yang menganut filosofi “Adati Hula-hula’a to syara’a dan syara’a hula-hula’a to Kitabullah atau adat bersendikan syara’dan syara’ bersendikan Kitabullah.

Untuk mewujudkan hal itu, Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi pada Rabu (11/9/2025), telah melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) di Grand Q Hotel. Kegiatan yang bertemakan : “Merumuskan Pedoman Adat Gorontalo Sebagai Warisan Bernilai Generasi Kini dan Akan Datang” ini, dihadiri langsung oleh Gubernur Gusnar Ismail dan Bupati Gorontalo Sofyan Puhi sebagai pemateri, bersama Prof. Dr. Sofyan Kau, serta menghadirkan para akademisi, para tokoh adat dan pemerhati adat Gorontalo.

Bahkan Pemerintah Provinsi Gorontalo, menurut penyampaian Gubernur Gusnar Ismail, telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) adat, yang diketuai oleh Staf Ahli Gubernur, Masran Rauf, yang bertugas menyusun kerangka acuan dalam penyusunan pedoman adat Gorontalo.

Upaya ini dapat dipahami sebagai salah satu respon Pemerintah Provinsi, terhadap keresahan berbagai elemen di masyarakat yang sejak beberapa tahun terakhir ini, nampak mulai cemas, tidak hanya khawatir dengan fenomena penyimpangan tata laksana upacara adat yang dituding telah banyak terjadi pergeseran nilai, tapi juga adat sebagai sumber nilai dan norma, sudah tidak menjiwai kehidupan sosial di masyarakat. Hal itu dapat dicermati juga dari ungkapan dan pandangan-pandangan dari beberapa pemangku adat yang hadir pada saat FGD, yang umumnya menyampaikan “curhat” dan unek-uneknya.

Namun yang menjadi pertanyaan, adalah apakah yang akan dirumuskan sebagai pedoman adat ini hanya sekadar “pemurnian” terhadap adat-istiadat Gorontalo dari aspek ritualnya (Tata upacara adatnya) yang dinilai tidak lengkap, ataukah penjabaran filosofi adat bersendikan syara dan Syara” bersendikan Kitabullah sebagai sumber norma sosial di masyarakat?

Pertanyaan ini patut diajukan, mengingat dari aspek ritual atau Pohutu Lo Adati (Tata Upacara adat) di semua Pohala’a di Gorontalo, kesemuanya sudah memiliki rumusan pedoman pelaksanaannya masing-masing yang sudah baku, bahkan sudah dipaku dengan “Tadiya” didu ma’o boli-boli’a.

Justru yang patut menjadi perhatian Pemerintah Provinsi, adalah penyusunan rumusan pedoman peradatan (pohutu Lo Adati) jenis “Pongo-Pongoabu” yang hingga saat ini belum buku pedomannya

Dengan begitu, dokumen pertama yang penting untuk diprioritaskan disusun oleh provinsi, adalah rumusan pedoman Pohutu Lo Adati “Pongo-pongoabu” yang nantinya menjadi rujukan pelaksanaan peradatan di tingkat pemerintahan Provinsi yang membawahi 5 Pohala’a di Gorontalo.

Pohutu Lo Adati Pongo-pongo’abu” adalah peradatan yang melibatkan perwakilan perangkat adat dari 5 pohala’a yang ada di seluruh jazirah Gorontalo, yaitu Pohala’a Suwawa, Pohala’a Hulontalo (Hulontalangi), Pohala’a Limutu, Pohala’a Bulango dan Pohala’a Atingola.

Selama ini, pohutu (tata upacara adat) yang menjadi hajatan Pemerintah Provinsi, mulai dari pernikahan anak Gubernur, penyambutan tamu, prosesi Molo’opu, Modepito, mopotolungo dan sebagainya di tingkatan pemerintahan Provinsi, hanya menggunakan rumusan pedoman (paduma) dari “pohutu Lo Adati Wo’o-wo’opo Umohutato”, yakni prosesi adat yang hanya melibatkan perangkat adat dari Hulontalo-Limutu. Hal itu tidak berkesuaian lagi dengan tatanan adat di level Provinsi yang membawahi 5 Pohala’a di Gorontalo.

Baca Juga :  Jejak Keluarga Tom Lembong di Gorontalo

Oleh karena itu, sudah cukup 25 tahun hal itu berlalu. Namun ke depan tidak boleh lagi dibiarkan, salah satunya dikhawatirkan, ketika kesadaran tentang adat mulai bangkit di kalangan generasi muda, kelak akan memunculkan resistensi dan kecemburuan, seakan-akan Pemerintah Provinsi hanya dipersepsikan pemimpin di Limutu-Hulontalangi atau Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo. Sementara Pohala’a lain seperti Suwawa, Bulango dan Atingola tidak dilibatkan atau merasa dimarjinalkan dari aspek pohutu lo adati di tingkat Provinsi.

Memang harus diakui, rumusan pedoman adat yang ditetapkan oleh U’Duluwo Limo Lo Pohala’a, dalam hal ini, Hulontalo-Limutu (Woo-wo’opo umohutato), sangat mendominasi di Gorontalo. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh kedua pohala’a ini yang semenjak keberadaannya, mampu melakukan ekspansi dan pengaruhnya. Tidak heran, jika prosesi adat Wo’o-wo’opo ini, berlaku di daerah administratif pemerintahan seperti Kabupaten Pohuwato, Kab. Boalemo dan Kabupaten Gorontalo Utara. Dalam sistem Pohala’a di Hulontalangi – Limutu, perangkat adat di Boalemo, Pohuwato dan Gorut berstatus sebagai Adat “Lohidiya” yang pelaksanaan tata upacara adatnya tetap merujuk pada Adati Lo Limutu-Hulontalangi.

Namun pohala’a Suwawa, Bulango dan Atingola memiliki sedikit perbedaan-perbedaan dengan pohutu Lo Adati di Pohala’a Hulontalo-Limutu yang sangat penting untuk tetap diakomodir ke dalam pohutu Lo adati Pongo-pongo’abu di level Provinsi.

Selanjutnya, jika rumusan pedoman adat yang disusun dan digagas oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo, berfokus pada upaya pemurnian untuk membumikan filosofi adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bKitabullah sebagai sumber norma sosial di masyarakat, maka dipandang perlu juga, merumuskan mekanisme penegakkan hukum adatnya ke depan.

Hal itu sangat penting, agar hukum adat sebagai norma sosial di masyarakat, tidak sekadar tersirat dalam praktek adat dan di atas kertas tapi secara konkrit teraplikasikan di tengah masyarakat.

Sumatera Barat mungkin layak menjadi rujukan, setelah menjadi Provinsi tahun 1957, daerah yang juga memiliki filosofi adat yang sama dengan Gorontalo, membentuk kelembagaan adat di tingkat Provinsi tahun 1966 yang dikenal dengan nama : Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Berdasarkan legitimasi dan otoritas yang dimilikinya, LKAAM memiliki kewenangan menegakkan hukum adat, sekaligus melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian adat dan budaya Minangkabau.

LKAAM ini dikategorikan sebagai ormas yang membawahi nagari-nagari dan niniak mamak di seluruh Provinsi Sumatera Barat. Salah satu keberhasilan LKAAM adalah berhasil memperjuangkan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Penetapan Sumatera Barat sebagai daerah yang memberlakukan filosofi, “Adat Basandik Syarak -Syarak Basandik Kitabullah”. Terhitung sejak tahun 2022, Undang-Undang ini menjadi landasan konstitusional Pemerintah Sumatera Barat yang didelegasikan kepada LKAAM dalam melestarikan adat dan menegakkan hukum Adat Basandik Syarak dan Syarak Basandik Kitabullah di Sumatera Barat.

Artinya, untuk menegakkan filosofi adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Kitabullah, ternyata tidak cukup kuat hanya dengan Peraturan Daerah (Perda), melainkan harus ditetapkan dengan Undang-Undang. Kecuali kelembagaan adatnya yang boleh diatur oleh Perda.

Itulah sebabnya, buku kedua yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk dipersiapkan oleh Pemerintah Provinsi, adalah buku Indikator geografis tentang sejarah tatanan adat beserta sejarah tercetusnya filosofi adat, yang nantinya menjadi acuan bagi pemerintah pusat, terutama DPR-RI untuk menetapkan Gorontalo sebagai Daerah yang berlandaskan pada adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Kitabullah melalui Undang-Undang.

Baca Juga :  Tambang Emas, Luka di Tanah Bone Bolango

Nah, Gorontalo sebagai daerah adat yang sudah menjadi Provinsi, tengah berada pada kondisi seperti digambarkan dalam paduma “Moda’a Taluhu Moheyi Pombango”.

Artinya, paduma ini memberikan ruang bagi Pemerintah Provinsi untuk merekonstruksi dan merestrukturisasi kelembagaan adat di Gorontalo. Meski upaya ini semestinya sudah dilakukan 25 tahun yang lalu. Namun seperti ungkapan, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.

Berdasarkan hal itu dan merujuk pada sejarah Perjanjian Tuwawu Duluwo Limo Lo Pohala’a tahun 1481 yang diprakarsai oleh Olongia Lo Tuwawa-Bune, bernama Raja Gintulangi, maka kelembagaan permusyawaratan adat tertinggi dalam sistem ketatanegaraan hukum adat yang menyatukan Pohala’a-Pohala’a di daratan Gorontalo, adalah kerapatan adat “Bantayo Pobboide”.

Kerapatan adat ini kembali dirumuskan oleh Sultan Eyato antara tahun 1646-1674 dengan 4 utas pemerintahan hukum adat yang saling mengikat satu sama lain, (“Ma Pangga-Panggalo”) yang disebut “Buwatula Bantayo”, Yakni kerapatan adat yang melibatkan 1). Buwatula Syara,(pemuka agama, kadhi Mufty, Khaly dan sebagainya). 2) Buwatula Bantayo (Baate, Wu’u dan pemangku adat lainnya). 3). Buwatula Bubato (unsur pemerintahan : Olongia, Hohuhu, Wuleya Lo Lipu dan sebagainya) 4). Buwatula Bala (unsur pemangku keamanan dan hukum, termasuk lembaga peradilan yang disebut dengan “Buto’o”)

Bantayo Pobbo’ide adalah tempat permusyawaratan kerapatan Adat Buwatula Bantayo untuk menyatukan kelompok masyarakat Pidodotiya dan Witohiya yang sudah tersebar di jazirah Gorontalo melalui semangat “Tuwawu Duluwo Limo Lo Pohal’a”. Bangsal peradatannya sesuai rumusan adat yang diwariskan oleh Sultan Eyato, terdiri dari 44 bangsal yang diduduki oleh perangkat Buwatula Bantayo dari seluruh Pohala’a di Gorontalo. Bahkan dapat dihadiri oleh unsur pohala’a luar, yakni Pohala’a Kaidipang, Pohala’a Buol, Pohala’a Mongondow (Mongonu) jika ada urusan Lou Lipu yang patut dibahas dan dimusyawarahkan.

Yang penting menjadi catatan, dalam permusyawaratan kerapatan adat Gorontalo, terdiri dari 2 jenis Bantayo. Yaitu : Bantayo Pobboide dan Bantayo Poboide.

Perbedaan pertama pada pelafalannya dan penulisan huruf “B” ganda dan “B” tunggal. Perbedaan keduanya, adalah : Bantayo Pobboide adalah tempat pembicaraan atau Permusyawaratan yang melibatkan perangkat adat buwatula Bantayo lebih dari 2 Pohala’a atau dalam hal ini 5 pohala’a yang ada di Gorontalo.

Sementara Bantayo Poboide (hanya satu huruf B) adalah tempat permusyawaratan perangkat adat Buwatula Bantayo yang melibatkan 2 Pohala’a yang berbeda. Sama dengan Bantayo Pobboide, Bantayo Poboide ini, juga memiliki 44 bangsal yang diduduki oleh unsur Buwatula Bantayo yang berasal dari 2 pohala’a yang berbeda tersebut.

Yang ada hari ini adalah Bantayo Poboide yang berada di Kompleks Taman Budaya Limboto atau depan Kantor Bupati Gorontalo yang didirikan di era Bupati Gorontalo Marten Liputo tahun 1980-an.

Pendirian Bantayo Poboide ini, selain untuk mengabadikan permusyawaratan adat antara 2 Pohala’a umohutato, yakni Sultan Eyato dari Pohala’a Hulontalo dan Hohuhu Popa dari Pohala’a Limutu yang terjadi tahun 1673, juga menjadi tempat permusyawaratan antara pemangku adat dari Limutu-Hulontalo untuk duduk bersama.

Sebab, meski secara administratif pemerintahan, kawasan Telaga sekarang adalah bagian dari Limutu atau Kab. Gorontalo, namun secara adat, kawasan Telaga ditempatkan sebagai bagian dari Pohala’a Hulontalo. Untuk itulah maka atas dukungan pemangku adat, dibangunlah Bantayo Poboide di Limboto, yakni berfungsi sebagai bangsal pertemuan/permusyawaratan adat 2 Pohala’a, Limutu-Hulontalo untuk kepentingan U Lipu Lo Pohala’a”a Lo Limutu.

Baca Juga :  PT BJA, IGL, dan BTL di Pusaran Kritik: Alarm Deforestasi dari Korea Selatan

Dari fakta sejarah inilah, maka Pemerintah Provinsi yang secara adat membawahi 5 Pohala’a di seluruh jazirah Gorontalo, maka permusyawaratan kelembagaan adat tertingginya adalah : Kerapatan Adat Bantayo Pobbo’ide yang nantinya menjadi tempat permusywaratan unsur perangkat adat Buwatula Bantayo dari seluruh Pohala’a yang ada di Gorontalo. Selain itu, Bantayo Pobboide ini, dapat ditetapkan dan diberikan otoritas oleh Lembaga adat dari seluruh Kabupaten/Kota dan Pohala’a untuk melestarikan adat dan budaya Gorontalo, sekaligus memiliki atau diberikan otoritas secara adat dan konstitusi negara untuk menegakkan hukum-hukum adat di Gorontalo yang memiliki falsafah : Adati hula-hula’a to syara’a, syara’a hula-hula’a to Quru’ani” .

Bantayo Pobboide dan Bantayo Poboide adalah generasi terakhir dari sejarah permusyawaratan peradatan di Gorontalo. Generasi pertama adalah permusyawaratan “Leda-Leda” di daratan Bangio atau Pinogu sekarang yang diperkirakan sudah ada sejak abad VII Masehi. Generasi Kedua, adalah Permusyawaratan adat “Padengo Bo’idu” tahun 1385 Masehi yang melahirkan 3 pilar pemerintahan hukum adat yang dikenal “Uggala’a”, yakni Pilar Diile, Tilo-Tiyamo dan Tiyombu.

DI era Sultan Amay, 3 pilar pemerintahan hukum ada ini mengalami penyempurnaan seiring masuknya Islam ke Gorontalo dengan tercetusnya pemerintahan “Buwatula Towulongo”, yakni Buwatula Syara’, Buwatula Bubato dan Buwatula Bala’ Di era Pemerintahan Sultan Eyato, Buwatula Towulongo disempurnakan menjadi Buwatula Bantayo, yang terdiri dari 4 utas pemerintahan, yakni unsur Syara’, unsur Bantayo (Baate/Wu’u), Buwatula Bubato (Pemerintah) dan Buwatula Bala untuk bermusyawarah melakukan pembicaraan penting tentang urusan rakyat dan urusan U Lipu di Bantayo Pobbo’ide yang melibatkan unsur Buwatula Bantayo dari 5 pohala’a yang ada di Gorontalo.
Oleh karena itu, yang berlaku adalah Buwatula Bantayo, bukan Buwatula Towulongo.

Selain itu, terdapat juga aspek adat yang penting untuk diluruskan dalam prosesi adat di Gorontalo. Yakni untuk Pohutu Lo Adati yang melibatkan seluruh Pohala’a di Gorontalo (Adati pongo-pongoabu), sejatinya tetap mengacu pada paduma Lo adati yang dirumuskan dalam Perjanjian yang diprakarsai oleh Olongia Lo Bune Suwawa, Raja Gintulangi Tahun 1481 Masehi, yakni Tuwawu Duluwo Limo Lo Pohala’a, bukan Duluwo Limo Lo Pohala’a.

Duluwo Limo Lo Pohala’a, merupakan istilah yang hanya tercetus pada saat Perjanjian untuk mempersatukan Limutu-Hulontalo yang tetap berada dalam ruang lingkup U duluwo (Limutu-Hulontalo) yang tetap menyatu ke dalam perserikatan limo lo pohala’a.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Pemerintah Provinsi Gorontalo seyogianya memiliki agenda, antara lain : Pertama, menyusun rumusan pedoman Pohutu Lo adati “Pongo-Pongoabu” yang melibatkan perangkat adat dari 5 Pohala’a di Gorontalo. Kedua, menyusun buku rumusan indikator geografis tentang filosofi adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Kitabullah yang kelak menjadi acuan bagi Pemerintah pusat dan DPR-RI untuk menetapkannya melalui Undang-Undang. Ketiga, membentuk dan mengukuhkan kembali kerapatan adat “Bantayo Pobboide” sebagai majelis tertinggi kelembagaan adat di Gorontalo yang kelak mampu menjaga, merawat dan melestarikan adat Gorontalo, termasuk dalam aspek penegakkan hukum adat yang berlandaskan pada syariat. Kerapatan Bantayo Pobboide ini secara struktural membawahi Lembaga Adat melalui prinsip Tuwawu Duluwo Limo Lo Pohala’a yang terhimpun dalam Buwatula Bantayo dari seluruh Pohala’a di Gorontalo. (AM)

** Baca berita pilihan menarik lainnya langsung di ponselmu di Channel WhatsApp Penagar.id. Klik disini