Penulis : Almisbah Ali Dodego (BEM Provinsi Gorontalo)
(Opini) – Pernyataan Bupati yang mengklaim telah menonaktifkan tim kerja bupati, termasuk anaknya di dalamnya, perlu dilihat secara lebih kritis dan tidak ditelan mentah-mentah.
Ini bukan kali pertama kita mendengar pernyataan seperti ini keluar dari mulut kepala daerah, namun yang menjadi pertanyaan mendasar adalah: di mana bukti nyatanya?
Klaim penonaktifan tersebut hanya menyerupai strategi meredam sorotan publik ketimbang langkah transparan yang bisa diverifikasi.
Tidak ada surat keputusan resmi yang dipublikasikan, tidak ada mekanisme evaluasi terbuka, dan tidak ada tindak lanjut administratif yang menunjukkan bahwa penonaktifan benar-benar dilakukan secara struktural dan bukan hanya kosmetik
Kehadiran anak bupati dalam tim kerja sejak awal telah menimbulkan tanda tanya besar soal etika, nepotisme, dan profesionalisme birokrasi.
Maka ketika isu ini menjadi sorotan, wajar bila publik menuntut kejelasan lebih dari sekadar pernyataan lisan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.
Kita harus menolak praktik pemerintahan yang hanya mengandalkan pencitraan. Penonaktifan tidak cukup hanya diumumkan, tetapi harus dibuktikan.
Tanpa transparansi dan akuntabilitas, pernyataan seperti ini justru mencederai kepercayaan publik dan mempertegas bahwa pemerintahan berjalan dengan logika kekuasaan, bukan kepentingan rakyat.
Jika bupati benar ingin meredam polemik, maka langkah paling minimal adalah membuka data: SK penonaktifan, status kepegawaian, dan mekanisme rekrutmen tim kerja tersebut. Tanpa itu, kita hanya melihat satu hal: retorika kekuasaan yang berulang dan kosong.