Iklan Platfrom Recreative - Scroll untuk lanjut
HeadlineOpini

Babak Akhir Kontroversi Hukum Thomas Lembong dan Dampak Kerasnya bagi Supremasi Hukum Indonesia

×

Babak Akhir Kontroversi Hukum Thomas Lembong dan Dampak Kerasnya bagi Supremasi Hukum Indonesia

Sebarkan artikel ini
Ramli Antula S.H., CPC, CPAdj,(Praktisi Hukum sekaligus Wakil Ketua DPC PERADI Ternate).(Foto : Istimewa).
Ramli Antula S.H., CPC, CPAdj,(Praktisi Hukum sekaligus Wakil Ketua DPC PERADI Ternate).(Foto : Istimewa).

Penulis : Ramli Antula S.H., CPC, CPAdj,

Praktisi Hukum sekaligus Wakil Ketua DPC PERADI Ternate.

* * *

Penagar.id, (Opini) – Kasus yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong akhirnya mencapai titik akhir yang tak terduga, setelah melalui proses hukum yang panjang dan penuh sorotan publik.

Presiden secara resmi memberikan abolisi, sebuah hak prerogatif yang menghentikan seluruh proses penuntutan hukum terhadap Tom Lembong terkait kasus korupsi importasi gula, pada tanggal 1 Agustus 2025,

Keputusan ini sontak mengubah status Tom Lembong dari seorang terdakwa yang telah divonis 4.5 tahun di pengadilan tingkat pertama, menjadi seorang warga negara yang bebas dari segala tuntutan hukum dalam kasus tersebut.

Langkah ini memicu perdebatan sengit di seluruh negeri, membelah opini publik antara mereka yang mendukung
dengan alasan rekonsiliasi nasional dan mereka yang mengecam keras karena dianggap mencederai rasa keadilan.

Secara komprehensif keputusan abolisi ini memiliki dampak yang tak terhindarkan bagi penegakan hukum.

Landasan Hukum dan Kronologi Pemberian Abolisi

Pemberian abolisi kepada Thomas Lembong bukanlah keputusan yang diambil dalam ruang hampa. Proses ini mengikuti jalur konstitusional yang tersedia, meskipun pelaksanaannya mengundang kontroversi.

Kewenangan Presiden untuk memberikan abolisi dijamin oleh Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan, “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Prosedur ini diatur lebih lanjut oleh UU Darurat No. 11 Tahun 1954.

Baca Juga :  Ijinkan Siswa Berseragam Sekolah Main Billiard, Aturan Borneo Cuma Pajangan?

Berbeda dari wacana sebelumnya, status Thomas Lembong telah menjadi terdakwa dan bahkan telah menerima vonis 4 tahun 6 bulan penjara di Pengadilan Tipikor, meskipun proses hukumnya masih berjalan di tingkat banding. Presiden mengajukan permohonan abolisi kepada DPR.

Setelah melalui rapat dan lobi politik, DPR memberikan pertimbangan yang menyetujui langkah tersebut. Terkait Penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Berdasarkan pertimbangan DPR, Presiden menerbitkan Keppres tentang Pemberian Abolisi, yang secara efektif
membatalkan dan menghentikan proses hukum yang sedang berlangsung.

Pada 1 Agustus 2025 malam, berdasarkan Keppres tersebut, Thomas Lembong secara resmi dibebaskan dari Rutan Cipinang.

Alasan di Balik Keputusan, Antara Rekonsiliasi dan Kalkulasi Politik

Pemerintah secara resmi menyatakan bahwa keputusan ini diambil demi kepentingan negara yang lebih besar, yaitu untuk mencapai rekonsiliasi nasional dan merajut kembali persatuan pasca polarisasi politik yang tajam.

Abolisi ini diberikan secara paralel dengan amnesti kepada tokoh politik lain, yang memperkuat narasi bahwa langkah ini adalah bagian dari paket kebijakan untuk menyudahi “konflik” di level elite.

Namun, di luar alasan resmi tersebut, para analis menunjuk pada beberapa motif lain yang mungkin melatarbelakangi keputusan ini.

Pertama Barter Politik, Abolisi diduga menjadi bagian dari konsesi politik yang lebih besar untuk menjaga stabilitas pemerintahan.

Kedua Koreksi atas Dugaan Kriminalisasi, Pendukung Tom Lembong sejak awal meyakini bahwa kasus yang menjeratnya kental dengan nuansa politis dan merupakan bentuk kriminalisasi. Bagi mereka, abolisi adalah bentuk koreksi dan pemulihan nama baik.

Baca Juga :  20 Terduga Pelaku Kekerasan Seksual Anak di Gorontalo Diamankan Polisi

Dampak Nyata dan Implikasi Serius bagi Penegakan Hukum

Terlepas dari alasannya, pemberian abolisi ini telah mengirimkan gelombang kejut ke seluruh sistem penegakan hukum Indonesia.

Delegitimasi Institusi Peradilan dan Kejaksaan, Kerja keras penyidik dan jaksa penuntut umum yang telah membawa kasus ini hingga kepengadilan seakan dianulir oleh satu keputusan politik.

Ini menurunkan wibawa aparat penegak hukum, serta menciptakan preseden bahwa putusan pengadilan dapat dengan mudah dikesampingkan.

Keputusan ini mengafirmasi persepsi publik bahwa ada perlakuan hukum yang berbeda antara warga biasa dan elite politik. Asas persamaan di hadapan hukum kini terasa seperti slogan kosong, yang dapat mengikis kepercayaan publik secara drastis. Sehingga Terciptanya Ketidakpastian Hukum, Ini adalah preseden berbahaya.

Ke depan, setiap terdakwa kasus besar dengan koneksi politik akan melihat abolisi sebagai salah satu jalan keluar potensial.

Hal ini merusak kepastian hukum dan melemahkan efek jera (deterrent effect) dari ancaman pidana. Di
tengah upaya memberantas korupsi, keputusan ini menjadi sebuah pukulan telak.

Ia mengirimkan sinyal bahwa komitmen negara terhadap pemberantasan korupsi bisa dinegosiasikan demi kepentingan politik, sebuah pesan yang sangat kontraproduktif.

Arah Politik Hukum Indonesia Pasca Abolisi

Peristiwa ini harus menjadi titik balik (turning point) yang kritis bagi arah politik hukum di Indonesia. Jika tidak ada refleksi dan perbaikan, kepercayaan terhadap negara hukum akan terus tergerus.

Baca Juga :  Direktur RSUD Otanaha dr. Grace Tumewu Diperiksa APH Terkait Penggunaan Dana PEN

Perlu ada kajian mendalam untuk memperketat syarat dan batasan penggunaan hak prerogatif Presiden di bidang yudisial. Kriteria “kepentingan negara” harus didefinisikan secara lebih konkret dan objektif untuk mencegah penyalahgunaan. Proses pertimbangan di DPR harus dibuat lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif.

Pelibatan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, atau panel ahli independen bisa menjadi salah satu cara untuk memberikan bobot pertimbangan hukum yang lebih kuat ketimbang pertimbangan politik semata.

Masyarakat sipil, akademisi, dan media massa memiliki peran krusial untuk terus mengawasi dan menekan pemerintah serta parlemen agar memprioritaskan penegakan hukum yang adil dan non-diskriminatif.

Kesimpulan

Pembebasan Thomas Trikasih Lembong melalui abolisi pada 1 Agustus 2025 adalah sebuah peristiwa hukum dan politik yang akan tercatat dalam sejarah Indonesia.

Meskipun secara prosedural sah, secara substansial keputusan ini telah mengorbankan prinsip-prinsip inti negara
hukum yaitu keadilan, kesetaraan, dan kepastian demi tujuan politik jangka pendek yang disebut “rekonsiliasi”.

Kini, tantangan terbesar bagi Indonesia adalah bagaimana memulihkan luka pada rasa keadilan publik dan membuktikan bahwa negara ini masih berkomitmen pada supremasi hukum yang tidak pandang bulu.

Tanpa langkah perbaikan yang serius, preseden ini akan menjadi warisan yang terus menghantui upaya membangun sistem hukum yang adil dan berwibawa.