Oleh : Marzuqo Septianto (Asisten Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat)
Penagar.id – Belakangan ini publik dikejutkan dengan kabar kenaikan tunjangan DPR yang terasa kontras di tengah kehidupan rakyat yang kian terhimpit.
Di sisi lain, pemerintah daerah gencar menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tanpa menawarkan transparansi pelayanan yang sepadan. Tak heran jika jalanan kembali ramai oleh aksi demonstrasi.
Fenomena ini bisa dibaca melalui lensa teori kesadaran Paulo Freire. Pertama, adakesadaran naif, dimana masyarakat kerap menerima kebijakan begitu saja, menganggap bahwa kenaikan pajak atau tunjangan pejabat adalah “aturan dari atas” yang tidak bisa digugat.
Kedua, munculkesadaran mistik: rakyat mencari penjelasan metafisik atas ketidakadilan, misalnya dengan meyakini bahwa kondisi ini adalah “takdir” atau “ujian”. Tapi yang lebih penting adalah lahirnyakesadaran kritis: kesadaran bahwa kebijakan publik tidak netral, dan bahwa rakyat punya hak untuk menuntut perubahan.
Kita melihat pergeseran kesadaran itu dalam berbagai isu. Mulai dari demo menolak kenaikan PBB, polemik kenaikan iuran BPJS Kesehatan, hingga kemarahan publik terhadap kasus ojol yang tertabrak mobil Brimob saat demo.
Semua peristiwa itu memperlihatkan bahwa rakyat mulai menghubungkan masalah-masalah keseharian mereka dengan struktur kekuasaan yang timpang.
Di sinilah pelayanan publik diuji. Negara seharusnya hadir sebagai pengayom, bukan sekadar pemungut pajak atau institusi yang memberi privilese pada pejabat.
Kenaikan tunjangan DPR tanpa disertai peningkatan akuntabilitas hanya akan memperlebar jarak antara wakil rakyat dengan rakyatnya.
Di titik inilah Ombudsman RI memegang peranan penting. Sebagai lembaga negara yang diberi mandat untuk mengawasi pelayanan publik, Ombudsman diharapkan tidak sekadar menunggu laporan masyarakat, namun aktif mengkritisi, memberi catatan, bahkan berani merekomendasikan langkah-langkah tegas atas kebijakan yang merugikan rakyat.
Dengan begitu, Ombudsman bisa benar-benar menjadi jembatan suara masyarakat, memastikan negara tidak berlaku sewenang-wenang dalam urusan pelayanan publik.
Kini, pilihan ada di tangan kita semua. Apakah kita tetap terjebak dalam kesadaran yang naif atau berani melangkah ke tingkat kesadaran kritis.
Karena hanya dengan kesadaran kritis itulah rakyat bisa mendorong negara kembali pada tugas utamanya untuk melayani masyarakat. Jika negara tak segera berbenah, maka jalanan akan terus menjadi ruang kelas rakyat untuk belajar politik.