Lingkungan

PT Banyan Tumbuh Lestari dan Janji yang Diingkari

×

PT Banyan Tumbuh Lestari dan Janji yang Diingkari

Sebarkan artikel ini
Hasil akhir dari olahan kayu menjadi wood pellet. (Foto : Forest Watch Indonesia)
Hasil akhir dari olahan kayu menjadi wood pellet. (Foto : Forest Watch Indonesia)

Penagar.id, GORONTALO  – PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) masuk ke Provinsi Gorontalo sekitar 15 tahun lalu dengan janji membawa manfaat bagi masyarakat lokal.

Namun, kehadirannya justru meninggalkan jejak konflik agraria, penggusuran lahan, dan ketidakpastian nasib ratusan warga di Desa Londoun, Kecamatan Popayato Timur, Kabupaten Pohuwato.

Miksel Rambi, salah satu warga Desa Londoun, menceritakan awal mula konflik yang dipicu oleh penggusuran lahan untuk pembangunan jalan perusahaan.

Adiknya, Refli Rambi, sempat berujung pada pembakaran pos penjagaan perusahaan sebagai bentuk protes setelah lahannya dirusak tanpa ada kompensasi.

Miksel mengatakan bahwa sebelum perusahaan masuk, tanah tersebut telah digunakan oleh adiknya untuk bertani.

“Tanah ini sudah digunakan sebelum perusahaan masuk. Ketika mereka menggusur untuk pembuatan jalan, lahan adik saya ikut terkena dampak,” kata Miksel.

Permasalahan semakin pelik ketika Refli meminta izin untuk menggunakan lahan sementara sebagai tempat penjemuran jagung hasil panen.

Izin tersebut tidak diberikan oleh pihak perusahaan, menyebabkan jagung yang dipanen menjadi rusak akibat terkena jamur. Kejadian ini memicu kemarahan Refli, yang akhirnya berujung pada pembakaran pos penjagaan.

Janji yang Tidak Diingkari

Saat pertama kali membeli tanah warga, PT BTL menjanjikan sertifikat tanah sebagai kompensasi. Namun, dari ratusan sertifikat yang dijanjikan, hanya sekitar 30 sertifikat yang berhasil diterbitkan.

Miksel mengatakan, warga yang telah menjual tanahnya kini masih harus membayar pajak atas tanah tersebut, meski penggunaannya telah berpindah ke perusahaan.

“Kami dijanjikan pembuatan sertifikat, tapi sampai sekarang banyak yang belum terbit. Pajaknya masih kami yang bayar, padahal tanahnya sudah mereka beli,” katanya.

Selain itu, perusahaan juga menjanjikan pembagian plasma 2 hektar per orang, kayu bangunan satu kubik untuk setiap keluarga, dan bantuan bibit jagung.

Namun, menurut Miksel, janji tersebut tidak pernah direalisasikan. Perusahaan berdalih masih menunggu hasil pengelolaan hutan untuk menunaikan janji-janji tersebut.

Konflik tidak hanya terbatas pada janji sertifikat dan kompensasi. PT BTL juga menggusur jalan desa sepanjang hampir 600 meter untuk pelebaran akses menuju lokasi perusahaan.

Sosialisasi awal menyebutkan jalan tersebut hanya akan digunakan sementara. Namun, hingga kini, jalan itu tetap menjadi akses utama perusahaan tanpa ada kejelasan mengenai statusnya.

“Awalnya mereka bilang ini hanya untuk sementara. Sampai sekarang tidak ada kejelasan, dan kami tidak tahu bagaimana kelanjutannya,” ujar Miksel.

Menurutnya, penggusuran jalan ini dilakukan tanpa melibatkan musyawarah yang memadai dengan masyarakat. Dalam beberapa rapat yang diadakan, perusahaan maupun kepala desa tidak memberikan jawaban yang memuaskan.

Baca Juga :  Diduga Ada Aktivitas Tambang Ilegal Berkedok Pengambilan Material Jalan di Dopalak Paleleh

Dampak Lingkungan dan Kehidupan Masyarakat

Kehadiran PT BTL juga membawa dampak signifikan terhadap lingkungan. Hutan Popayato, yang dulunya menjadi sumber penghidupan utama warga, kini berubah menjadi kawasan Hutan Tanaman Energi.

Aktivitas perusahaan menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap hasil hutan seperti kayu bakar dan bahan pangan.

“Sekarang ini sudah susah. Untuk mencari kayu bakar saja harus menyurat, apalagi untuk kebutuhan lain,” kata salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.

Hutan yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat kini hanya tinggal kenangan. Pemerintah telah memberikan izin pengelolaan kepada perusahaan, yang memperluas wilayah konsesinya hingga mencakup kawasan perhutanan sosial.

Padahal, kawasan tersebut memiliki dokumen resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak 2019.

Upaya masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum terkait tanah mereka belum membuahkan hasil. Pada 2019, masyarakat mengajukan izin perhutanan sosial ke Kementerian KLHK dan mendapatkan persetujuan untuk mengelola sekitar 158 hektar lahan. Namun, konflik dengan PT BTL tetap berlanjut.

“Mereka membangun jalan di kawasan perhutanan sosial tanpa izin yang jelas. Ketika kami tanyakan, tidak ada respon dari perusahaan,” ujar Miksel.

Masyarakat Desa Londoun kini menghadapi ketidakpastian yang berlarut-larut. Kehadiran PT BTL yang awalnya diharapkan membawa kesejahteraan, justru meninggalkan persoalan hukum dan sosial yang kompleks.

Janji perusahaan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat seolah tinggal kata-kata kosong tanpa realisasi.

Kerusakan Hutan Alam

Tak hanya konflik sosial, aktivitas pembabatan hutan atau dikenal deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan meyebabkan kerusakan hutan yang kian meluas.

Sejumlah lembaga lingkungan hidup di Indonesia menyebut, hutan di wilayah ini mengalami degradasi yang mengancam ekosistem serta kehidupan masyarakat setempat.

PT BTL, perusahaan yang berlabel kebun energi ini diduga kuat secara perlahan telah membabat hutan alam ribuan hektar sejak tahun 2021 di Kabupaten Pohuwato.

Pembabatan hutan alam ini dilakukan demi mengambil kayu sebagai bahan baku utama untuk memproduksi wood pellet, biomassa untuk Co-firing yang digadang-gadang menjadi solusi untuk menekan krisis iklim.

Awalnya, BTL merupakan perusahaan kelapa sawit yang mendapatkan izin lokasi dari Bupati Pohuwato berdasarkan surat keputusan Nomor 171/01/VI/2010 tanggal 1 Juni 2010 tentang pemberian izin lokasi seluas 16.000 hektar.

Setahun kemudian, BTL pun kemudian mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan sekitar 15.797.48 hektar dari KLHK.

Baca Juga :  Satu Dekade Menunggu, Petani Sawit Pulubala Tuntut Janji PT Palma Serasih Grup

Berlanjut ke tahun 2022, izin pelepasan kawasan hutan itu telah dicabut berdasarkan surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 01 Tahun 2022.

Akan tetapi tahun 2020 ternyata BTL sudah terlebih dahulu mengajukan izin penetapan hutan hak dengan perubahan komoditas dari Sawit ke Gamal dan Kaliandra.

KLHK menyetujui usulan tersebut dengan skema Hutan Hak dengan luas 15.493 hektar kepada PT BTL.

Dalam Riset riset yang dipublikasikannya, Walhi mengatakan kebijakan KLHK tidak merubah apapun. Perusahaan BTL itu tetap melakukan kegiatan operasionalnya di lapangan.

Menurut Walhi, izin pinjam pakai kawasan hutan milik BTL telah diputihkan atau dilegalkan kembali dengan perubahan komoditas.

Sepertinya, BTL dilegalkan kembali atas nama transisi energi melalui pemanfaatan biomassa kayu sebagai sumber energi listrik.

Berdasarkan Citra satelit Nusantara Atlas, PT BTL telah membabat hutan alam sekitar 2.027 hektar antara januari 2023 hingga agustus 2024.

Penampakan citra satelit tersebut, tidak memperlihatkan secara detail wilayah HGU konsesi perusahaan. Sehingga, diduga kuat BTL tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).

Hal yang sama juga ditemukan oleh Forest Watch Indonesia (FWI). Tren deforestasi di Gorontalo tepatnya di Kabupaten Pohuwato signifikan dan terlihat masif dalam kurun waktu 2021 sampai 2023.

Dimana, telah terjadi deforestasi di dalam wilayah konsesi PT BTL seluas 1.105 hektare.

Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI mengatakan, berdasarkan riset yang mereka lalukan, Pohuwato menjadi kabupaten yang paling banyak kehilangan tutupan pohon sebesar 41.8 ribu hektar sejak 2001 hingga 2023 (Data Global Forest Watch).

Ironisnya, bahan baku industri wood pellet dari BTL yang disuplai ke PT Biomassa Jaya Abadi (BJA) justru diekspor ke Jepang dan Korea Selatan dengan total produksi
21.066.025 kg dengan nilai 2.833.380 USD.

Artinya, kayu alam yang diambil oleh BTL dari Pohuwato ini tidak memberikan kontribusi dalam program transisi Indonesia yang ingin menggunakan Co-Firing pengganti batubara di 52 PLTU.

“Pemanfaatan kayu dari hutan alam tidak akan pernah bisa menjawab apa-apa berkaitan dengan agenda transisi energi sebagai upaya pengurangan emisi” kata Anggi.

Renal Husa dari Walhi Gorontalo, menegaskan penolakan terhadap semua industri ekstraktif, termasuk Proyek Bioenergi Nasional seluas 282 ribu Ha di Gorontalo.

Menurutnya, hal ini bakal mengancam ruang kelola rakyat dan berpotensi menimbulkan bencana ekologis baru.

Baca Juga :  Kebun Energi Gorontalo : Kerusakan Ekologis dan Bentuk Penjajahan Baru 

Sementara Terry Repi Akademisi Universitas Muhammadiyah Gorontalo menyoroti bahwa bioenergi menjadi ancaman serius bagi biodiversitas.

Ia bilang, Aktivitas bioenergi dapat mengakselerasi hilangnya habitat terutama bagi spesies spesialis dan spesies dengan jelajah yang luas, berisiko menyebabkan kepunahan.

“Artinya, asumsi bahwa bioenergi kayu bersifat netral karbon adalah terlalu optimistis dan dapat menunda upaya mitigasi perubahan iklim yang lebih efektif,” kata Tery Repi.

Ia menjelaskan, konversi hutan dapat mengubah struktur dan komposisi ekosistem hutan serta mendorong munculnya spesies invasif yang mengganggu keseimbangan ekosistem.

Selain itu, dibutuhkan waktu yang sangat lama, antara 44 hingga 104 tahun, bagi hutan untuk menyerap kembali kelebihan CO2 setelah penebangan.

Jawaban PT BTL

Direktur PT BTL, Burhanudin menegaskan bahwa sebagai pelaku usaha, PT BTL selalu mematuhi aturan yang berlaku, dengan seluruh perizinan yang sudah lengkap dan sesuai prosedur.

“Kami adalah investor jangka panjang yang berkomitmen pada keberlanjutan. Tidak mungkin kami mengabaikan aturan yang ada, terutama mengingat ini adalah bisnis internasional. Kepatuhan terhadap regulasi adalah prioritas utama kami,” kata Burhanudin.

Burhanudin mengatakan, Mekanisme penatausahaan yang dijalankan perusahaan berlandaskan pada Hak Guna Usaha (HGU) yang sah.

“Saya tidak setuju jika lahan kami disebut sebagai hutan, karena sudah berstatus HGU dan APL. Lahan tersebut telah kami kembangkan menjadi kebun, dan dalam proses pembangunan kebun, kami melakukan pembukaan lahan atau land clearing, dan hasilnya kami manfaatkan dengan baik,” jelasnya.

Terkait dengan isu konflik agraria antara masyarakat dan PT BTL, pihak perusahaan juga memberikan klarifikasi. Mereka membantah adanya janji pemberian sertifikat tanah secara gratis kepada masyarakat.

“Kapasitas PT BTL hanya sebatas membantu dalam pengurusan sertifikat bersama dengan pemerintah desa dan kecamatan,” tegasnya.

Di tempat yang sama, VR Manager Internal PT BTL, Purnama, menjelaskan bahwa setelah pembukaan lahan, segera dilakukan penanaman jenis pohon gamal dan kaliandra.

“Pohon-pohon yang kami tanam akan menjadi bahan baku utama setelah 4 tahun. Proses panen dapat dilakukan hingga lima kali setelah satu kali penanaman,” kata Purnama.

Dirinya juga menjawab isu tentang hanya dua jenis kayu yang disebut ada dalam kawasan yang kini menjadi HGU perusahaan.

Menurutnya, data itu hanya mencatat jenis kayu yang dominan, sementara hasil penelitian menunjukkan ada sekitar 15 jenis kayu di wilayah konsesi BTL.(*)

**Cek berita dan artikel terbaru kami dengan mengikuti WhatsApp Channel

You cannot copy content of this page