Penagar.id – Dalam tiga pekan terakhir, Gorontalo tidak hanya menyimpan cerita tentang dugaan korupsi dan Demostrasi penolakan terhadap tambang ilegal. Ada rentetan kekerasan terhadap aktivis yang juga patut menjadi perhatian serius publik.
Tiga nama menjadi saksi dari eskalasi kekerasan yang menyasar sosok-sosok yang selama ini dikenal vokal dalam menyuarakan kritik sosial maupun isu publik.
Mereka adalah Hidayat Musa, Amin Suleman, dan Harun Alulu. Mereka memang tidak bergerak dalam satu gerakan yang sama secara langsung. Namun aktif menyuarakan kritik, termasuk diantaranya yang berkaitan dengan tambang ilegal di Gorontalo.
Semuanya diserang dalam skema yang nyaris serupa. pelaku tak dikenal, menyerang di tempat sepi, dan langsung melarikan diri.
Diburu dan Dipukuli!
Korban pertama adalah Hidayat Musa, mantan Ketua Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) Gorontalo.
Ia diserang oleh dua orang tak dikenal (OTK) saat melintas di kawasan Polsek Kota Timur, Kota Gorontalo, pada Minggu malam, 27 April 2025.
Saat itu, Hidayat sedang mengendarai sepeda motor dan tiba-tiba ditendang di bagian kepala oleh salah satu pelaku yang mengendarai motor NMAX hitam.
Meski helm yang dikenakannya pecah, beruntung Hidayat masih dapat mengendalikan motornya dan selamat dari kecelakaan.
Saksi mata menyebut pelaku langsung kabur. Hidayat selamat, tapi ada satu pesan yang ditinggalkan yaitu : Ancaman!
Sepekan setelah kejadian tersebut, publik kembali digegerkan oleh aksi pengeroyokan terhadap Ketua Gerakan Aktivis Milenial (GAM) Gorontalo, Amin Suleman.
Peristiwa terjadi pada Selasa, 6 Mei 2025, di Jalan Gorontalo Outer Ring Road (GORR), Kabupaten Gorontalo, dan sempat terekam video yang beredar luas di media sosial.
Empat orang pelaku menganiaya Amin sebelum akhirnya kabur menggunakan sepeda motor. Kasus ini telah dilaporkan ke Polres Gorontalo.
Terbaru, Harun Alulu, Koordinator BEM Nusantara Provinsi Gorontalo, juga mengalami kekerasan fisik pada Selasa 13 Mei 2025, sekitar pukul 00.30 Wita dini hari.
Saat itu Harun Alulu baru saja meninggalkan Sekretariat bersama HMI-KAHMI Kabupaten Gorontalo. Dalam perjalanan ke kampus Universitas Gorontalo, empat pria berbaju hitam menghampirinya.
Mereka membawa balok. Salah satu menghantamkan kayu keras itu ke punggungnya. Beruntung Harun tidak terjatuh. Namun, hantaman balok itu membuatnya cedera.
Harun adalah Koordinator BEM Nusantara Provinsi Gorontalo. Pekan kemarin, ia menjadi salah satu orator dalam demonstrasi terkait tambang ilegal.
Ia memang kerap melontarkan kritikan terhadap isu-isu penting di daerah. Terutama yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat.
Teror Sistematis?
Tiga pekan. Tiga korban. Tiga aktivis. Polanya nyaris identik. Tapi belum ada satu pun pelaku yang terungkap.
“Ini bukan kebetulan. Ada pola yang coba dimainkan,” kata Koordinator BEM Provinsi Gorontalo, Almisbah Ali Dodego.
Ia mengatakan, para aktivis ini tentu bukan tanpa kekurangan. Almisbah mengakui, gerakan ini tidak selalu berjalan sempurna. Kendati demikian, kritik adalah hal yang wajar.
Namun, lanjut Almisbah, publik harus meliha bahwa niat utama dari suara-suara kritis yang dilontarkan ke ruang publik adalah untuk menjaga nilai-nilai demokrasi dan menyuarakan kepentingan masyarakat yang terdampak.
“Kami menyadari bahwa tidak ada gerakan sosial yang sempurna, termasuk kami sebagai aktivis mahasiswa. Namun, dalam masyarakat demokratis, suara kritis merupakan elemen penting untuk menjaga akuntabilitas dan mendorong perubahan. Sayangnya, alih-alih diapresiasi sebagai bagian dari dinamika demokrasi, kami justru mengalami perlakuan represif, seolah-olah menjadi ancaman, bahkan kami diburu seperti binatang!” ujar Almisbah.
Menurutnya, kekerasan terhadap aktivis bukan hal baru di Gorontalo. Namun, yang membedakan kasus tahun ini adalah frekuensi dan kedekatannya satu sama lain.
“Ketika kekerasan menjadi berulang dan seolah tidak ada respons serius dari aparat, itu bentuk pembiaran. Dan pembiaran adalah bagian dari kekerasan itu sendiri,” ujarnya.
Mendesak Peran Negara
Kabid Humas Polda Gorontalo, Kombes Pol. Desmont Harjendro menyatakan masih menyelidiki kasus-kasus tersebut.
“Untuk kasus yang di Kabupaten Gorontalo, sudah dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan dan masih berproses,” kata Desmont Kepada Penagar.id, Selasa (13/5/2025).
Penanganan kasus tersebut, kata Desmont, dibantu langsung oleh Polda Gorontalo sebagai bentuk keseriusan terhadap kasus ini.
“Polda Gorontalo langsung back up ke Polres Gorontalo untuk mempercepat proses penyelidikan,” terangnya.
“Secepatnya kalau sudah lengkap keterangan dan bukti lain akan kita infokan kembali,” sambungnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada penangkapan ataupun pengumuman resmi mengenai identitas para pelaku.
Menurut Almisbah Ali Dodego, ketiadaan langkah cepat dari aparat membuat publik bertanya terkait peran penegak hukum.
“Memang, Gorontalo selama ini dikenal sebagai wilayah yang relatif tenang. Tapi di balik ketenangan itu, ada percikan konflik yang melibatkan suara-suara yang berseberangan dengan arus kekuasaan,” kata Almisbah.
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo ini menilai, penyerangan terhadap aktivis ini bukan hanya mengincar nyawa, melainkan juga ancaman terhadap demokrasi.
“Jika serangan ini dibiarkan tanpa penyelesaian yang adil dan transparan, bukan tidak mungkin akan ada anggapan bahwa bersuara kritis di Gorontalo sama dengan bunuh diri,” kata Almisbah.
Menurutnya, akan ada konsolidasi akbar yang akan terjadi antara mahasiswa maupun masyarakat untuk mendesak Kapolda Gorontalo turun tangan langsung.
“Apakah harus ada berita terkait kematian aktivis dulu, baru bergerak? Konsolidasi ini sangat penting untuk dilakukan. Sebab ini bukan hanya soal tiga orang, tapi seluruh aktivis yang ada di Gorontalo,” tegas Almisbah.