Penagar.id – Klarifikasi yang disampaikan dr. Alaludin Lapananda, SpPD, akhirnya meredakan polemik yang sempat berkembang di tengah masyarakat. Pernyataan tersebut turut mengembalikan situasi menjadi lebih kondusif.
Kondisi ini tidak terlepas dari keputusan Pemerintah Kabupaten Gorontalo yang tertuang dalam Surat Keputusan Sekretaris Daerah Nomor: 800/BKPSDM/291. Dalam surat itu disebutkan bahwa untuk kelancaran pemeriksaan, diperlukan penetapan pembebasan sementara dari tugas jabatan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Asisten III Pemerintah Kabupaten Gorontalo, penonaktifan ini bersifat administratif. Keputusan tersebut juga mengedepankan asas praduga tak bersalah serta menjunjung tinggi prinsip keadilan dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Namun, keputusan pemberhentian sementara dr. Alaludin dari jabatannya sebagai Direktur RSUD MM Dunda Limboto juga memantik reaksi dari publik. Salah satu suara datang dari akademisi Gorontalo, Ruslin Hasan.
Ia menilai langkah tersebut terkesan tergesa-gesa, sehingga kurang proporsional dan terkesan tidak melalui pertimbangan yang menyeluruh.
Menurut Ruslin, relasi antara BPJS Kesehatan dan RSUD MM Dunda bersifat kerja sama pelayanan, bukan hubungan hierarkis. Karena itu, teguran dari BPJS seharusnya tidak secara otomatis menjadi dasar untuk memberhentikan direktur rumah sakit.
“Surat teguran itu memang ada, namun penting dicatat bahwa persoalan antara RSUD Dunda dan BPJS telah diselesaikan secara internal. Bahkan, pihak BPJS menyatakan bahwa kasus ini sudah selesai, close,” jelas Ruslin, Sabtu (10/5/2025).
Ia juga menekankan bahwa praktik yang dipersoalkan sebenarnya tetap berpihak pada pasien. Memang terjadi kekeliruan dari sisi administrasi, namun sudah diselesaikan dan pasien tidak dirugikan secara finansial.
“Uang yang dikeluarkan pasien tetap diganti oleh rumah sakit. Jadi, masyarakat tidak dibebani,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ruslin mengangkat data layanan sebagai pertimbangan penting. Selama periode Januari hingga April 2025, RSUD Dunda telah melayani lebih dari 4.000 pasien. Sementara itu, jumlah teguran administratif berjumlah 15 kasus.
“Jika dihitung, itu hanya 0,4 persen dari total layanan. Karena itu, keputusan pemberhentian ini seharusnya dipertimbangkan secara proporsional,” ujarnya.
Ruslin juga menyayangkan informasi yang beredar ke publik. Menurutnya, masyarakat hanya diberi angka mentah tanpa konteks yang memadai, sehingga dikawatirkan akan memicu kesalahpahaman.
“Benar ada 15 surat teguran, tapi harus dilihat penyebabnya. Dalam hal ini, saya melihatnya menyangkut persoalan administratif,” jelasnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa terdapat klausul kerahasiaan dalam perjanjian kerja sama antara BPJS dan RSUD Dunda. Termasuk di dalamnya adalah surat teguran yang seharusnya bersifat internal.
“Pertanyaannya, siapa yang membocorkan surat itu? Karena kebocoran inilah yang menjadi salah satu pemicu reaksi publik hingga akhirnya berujung pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD,” tutur Ruslin.
Ia mengungkapkan, perjanjian kerja sama mengatur penyelesaian persoalan maksimal dalam 30 hari. Namun, dalam kasus ini, persoalan bisa diselesaikan hanya dalam enam hari.
Menurutnya, hal ini tidak lepas dari peran DPRD Kabupaten Gorontalo yang telah menjalankan peran sebagai lembaga legislatif yang peduli terhadap persoalan pelayanan publik.
“Hal ini menunjukkan bahwa DPRD telah menjalankan fungsinya dengan baik. Patut diapresiasi karena telah memediasi persoalan ini secara cepat dan terbuka,” ujarnya.
Ruslin berharap ke depan, setiap keputusan yang menyangkut pelayanan publik diambil dengan pertimbangan menyeluruh.
“Harapannya, ke depan keputusan-keputusan seperti ini bisa lebih bijaksana dan berdasarkan fakta menyeluruh, bukan hanya karena tekanan viral di media sosial,” pungkasnya.(*)