Opini

Merawat Keragaman dengan Kurikulum Berbasis Cinta

×

Merawat Keragaman dengan Kurikulum Berbasis Cinta

Sebarkan artikel ini
Thobib Al Asyhar, Dosen Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah, Kemenag RI. (Foto : kemenag.go.id)
Thobib Al Asyhar, Dosen Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah, Kemenag RI. (Foto : kemenag.go.id)

Oleh : Thobib Al Asyhar

Dosen Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah, Kemenag RI

*   *   *

Selasa pagi, 7 Januari 2024, dalam sebuah pertemuan santai namun bermakna (breakfast meeting), Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan gagasan penting: kurikulum berbasis cinta.

Menurutnya, kurikulum ini bertujuan membentuk generasi muda yang memiliki pandangan, sikap, dan perilaku toleran terhadap perbedaan, baik itu suku, agama, maupun budaya.

“Kita harus menanamkan nilai-nilai kasih sayang kepada anak didik sejak dini. Dengan kurikulum berbasis cinta, kita ingin melahirkan manusia yang tulus dan beriman, tanpa rasa kebencian terhadap mereka yang berbeda, terutama dalam hal agama,” ujar Menteri Agama.

Gagasan ini, jika kita renungkan, sangat relevan dengan kebutuhan bangsa kita. Indonesia adalah negeri yang kaya akan keberagaman—dari Sabang sampai Merauke, beragam suku, agama, dan budaya hidup berdampingan.

Namun, keberagaman ini adalah warisan yang harus dijaga, bukan sekadar dihormati. Kerukunan antarumat beragama menjadi pondasi penting bagi keberlangsungan bangsa.

Baca Juga :  Menakar Potensi dan Ancaman Kerusakan Wilayah Pesisir Bone Bolango

Lebih dari Sekadar Teori

Kurikulum berbasis cinta ini bertujuan menjadikan pendidikan agama lebih dari sekadar pembelajaran ritual dan tata cara beribadah.

Kurikulum ini mengajarkan nilai-nilai toleransi dan moderasi, membentuk karakter yang tidak hanya menghargai perbedaan, tetapi juga mampu hidup berdampingan tanpa merasa paling benar.

Cinta, dalam konteks ini, bukan sekadar emosi. Ia adalah sikap yang diwujudkan melalui tindakan—menghormati perbedaan, merangkul keberagaman, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Cinta yang inklusif dan universal, cinta kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta.

Pendidikan berbasis cinta juga mengingatkan kita bahwa agama bukanlah alat untuk memisahkan atau menghakimi. Sebaliknya, agama adalah jalan menuju kedamaian, kasih sayang, dan persatuan.

Melalui pendekatan ini, generasi muda diajarkan untuk melihat keberagaman sebagai anugerah, bukan ancaman.

Baca Juga :  Dinamika Idealisme Peserta CPNS dalam Sistem Birokrasi yang Hierarkis

Madrasah sebagai Garda Terdepan

Dalam pendidikan agama, madrasah memiliki peran strategis. Bukan hanya mengajarkan ilmu agama, madrasah juga membentuk karakter siswa.

Dengan kurikulum berbasis cinta, siswa dilatih untuk menghargai perbedaan, berempati, dan hidup harmonis dalam masyarakat yang majemuk.

Namun, tantangan besar seperti intoleransi dan ekatremisme harus dihadapi dengan serius. Untuk itu, Kementerian Agama memiliki tanggung jawab besar. Ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil:

Pertama, memperkuat Pendidikan Multikultural. Siswa perlu memahami keberagaman agama dan budaya untuk membangun penghormatan terhadap perbedaan. Kedua, pelatihan guru yang rahmatan lil-alamin.

Guru perlu dilatih secara mendalam agar mampu menanamkan nilai-nilai cinta dan toleransi, sekaligus menghadapi isu intoleransi yang muncul di masyarakat.

Ketiga, pentingnya kolaborasi dengan banyak pihak. Kemenag dapat menggandeng lembaga pendidikan dan organisasi keagamaan untuk merancang kurikulum yang lebih inklusif dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan.

Kurikulum berbasis cinta ini lebih dari sekadar inovasi pendidikan. Ini adalah langkah penting untuk membangun kesadaran bahwa kerukunan antarumat beragama adalah tanggung jawab kolektif seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kerukunan, stabilitas sosial tidak akan terjaga.

Baca Juga :  Penarikan Dana Daerah dari BSG : Langkah Strategis atau Ancaman Stabilitas?

Malalui pendidikan berbasis cinta, kita menanam benih generasi yang toleran, moderat, dan cinta damai. Generasi ini akan melihat perbedaan sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Dalam konteks Indonesia, kedamaian adalah harta paling berharga.

Melalui langkah kecil ini, kita berupaya menciptakan masa depan Indonesia yang lebih baik—sebuah bangsa yang kuat dalam keberagaman, moderat dalam berpikir, dan penuh cinta terhadap sesama.

Sehigga, Indonesia sebagai laboratorium kerukunan raksasa di dunia benar-bebar terwujud. Amin. Wallahu a’lam.

 

*Artikel  ini telaj terbit sebelumnya dengan judul asli “Rawat Keragaman Indonesia dengan Kurikulum Berbasis Cinta.” Klik di sini untuk baca.

**Cek berita dan artikel terbaru kami dengan mengikuti WhatsApp Channel

You cannot copy content of this page