Ditulis oleh : Almisbah Ali Dodego (Pengurus Pusat BEM Nusantara (Koordinator Isu Hukum dan HAM) | Koordinator BEM Provinsi Gorontalo | Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo)
* * *
Ada satu pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan hari ini: untuk siapa negara hadir? Karena dalam kasus kekerasan terhadap mahasiswa di Gorontalo, negara seolah tidak hadir untuk korban, bahkan absen untuk pelaku.
Harus diingat bahwa negara ini dibangun dengan asumsi bahwa kekuasaan tunduk pada hukum, dan hukum berpihak pada rakyat. Tapi di Gorontalo, asumsi itu seolah gugur di hadapan satu foto yang beredar luas di kalangan aktivis.
Foto tersebut menampilkan sorang tokoh yang diduga sebagai penghubung pemilik tambang ilegal bersama oknum aparat penegak hukum (APH). Meraka tampak berdiskusi serius dalam satu meja yang sama. Pertemuan tidak resmi ini tentu tidak bisa dijelaskan dengan dalih tugas. Foto ini adalah bukti awal tentang dugaan penyimpangan fungsi aparat yang mestinya netral, namun kini beroperasi di ruang kelam kekuasaan.
Mereka yang menganggap foto pertemuan itu sebagai hal biasa, lupa bahwa simbol seringkali lebih kuat dari narasi. Dalam simbol itu terkandung pengkhianatan terhadap etik publik: bahwa aparat bisa saja berelasi dengan bisnis ilegal secara diam-diam, sementara warga yang melawan ketidakadilan justru diserang secara terbuka.
Negara seolah menjadi entitas yang bisu, dan kebisuan itu adalah kejahatan ketika nyawa rakyat dipertaruhkan.
Patut menjadi perhatian, hukum adalah ekspresi dari rasionalitas negara, sementara kekerasan adalah bahasa dari kekuasaan yang kehilangan alasan. Negara akan kehilangan otoritas moralnya ketika gagal membedakan antara kekuasaan dan kekuatan.
Dalam nalar demokrasi, aparat adalah instrumen, bukan aktor. Ketika instrumen ini justru mengambil alih panggung, bermain di balik layar, dan memperkuat struktur ilegal yang ditentang oleh rakyat, maka kita sedang menyaksikan pergeseran fungsi negara menjadi lembaga pelindung oligarki.
Dalam teori politik modern, sebuah negara sah karena mampu menjamin dua hal. Pertama, perlindungan terhadap kebebasan warga. Kedua penegakan hukum tanpa diskriminasi. Ketika dua hal ini lenyap dalam satu kasus yang sama, maka pemerintah tidak lagi berfungsi sebagai institusi politik, melainkan sebagai administrasi ketakutan.
Di Gorontalo hari ini, tambang ilegal seolah bertumbuh subur di bawah bayang-bayang kekuatan yang tak terlihat. Sementara negara, melalui Kepolisian Daerah (Polda) Gorontalo, seolah hanya berdiri sebagai penonton yang terlambat dan terlalu banyak dalih. Pernyataan “sedang menyelidiki” seolah jadi obat penenang untuk menunda, bukan bertindak. Padahal prinsip dasar penegakan hukum adalah efektivitas, bukan retorika.
Fakta bahwa Koordinator Daerah BEM Nusantara wilayah Gorontalo, Harun Alulu dianiaya hingga hampir kehilangan kemampuan gerak setelah memimpin aksi protes terhadap tambang ilegal, menimbulkan dugaan pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.
Apa hubungannya dengan Kapolda? Menurut saya, Semuanya. Karena dalam sistem komando kepolisian, tanggung jawab bukan dibagi, tetapi bertingkat.
Ketika alat berat diduga masuk ke kawasan tambang ilegal Pohuwato dengan pengawalan terselubung, ketika mahasiswa diserang secara brutal pasca-aksi damai, dan ketika belum ada satu pun aktor kekerasan yang ditangkap, maka tak berlebihan menganggap Kapolda Gorontalo gagal, baik secara operasional maupun moral. Termasuk dalam mengayomi rakyat, mencegah kekerasan, dan menegakkan hukum.
Logikanya sederhana: jika negara diam saat rakyat diserang karena menyuarakan kebenaran, maka negara sedang aktif dalam pembungkaman. Tidak ada posisi netral ketika kekerasan dibiarkan. Sebab diam adalah bentuk keberpihakan paling jahat dalam demokrasi.
Menurut saya, penganiayaan terhadap Harun Alulu bukan bukan insidental, tapi terstruktur. Ini bukan kriminalitas biasa. Ini adalah teror terhadap suara kritis, yang berusaha membongkar gurita tambang ilegal dan jaringan kuasa yang melindunginya.
Di tengah ini semua, Polda Gorontalo seolah mewariskan kekosongan hukum. Sekali lagi, prinsip dasar penegakan hukum adalah efektivitas, bukan retorika.
Mari kita uji ulang keabsahan jabatan Kapolda dari tiga dimensi: fungsional, etis, dan politis. Secara fungsional, Polda Gorontalo seolah tidak mampu mencegah kekerasan, padahal itu tugas dasar aparat. Secara etis, Polda Gorontalo seolah membiarkan dugaan keterlibatan aparat aktif dalam konflik sumber daya. Secara politis, Polda Gorontalo seolah menjadi simbol kegagalan negara yang hadir di ruang publik. Maka pencopotan bukan sekadar pantas, tapi niscaya. Ini soal pemulihan kredibilitas institusi hukum di mata rakyat Gorontalo.
Demokrasi membutuhkan ruang aman bagi perbedaan, bukan ruang gelap untuk intimidasi. Bila negara, melalui Polda Gorontalo, gagal menjamin ruang itu, maka tidak salah jika rakyat berhak menolak otoritasnya. Karena tidak ada keadilan tanpa keberanian, dan tidak ada reformasi tanpa pemisahan tajam antara aparat negara dan aktor kapital.
Jika negara menutup mata terhadap ini semua, maka negara bukan sedang diam, tapi sedang menyetujui. Dan itulah titik nadir dari kehancuran bernegara.
Kapolri dan Presiden tak bisa lagi bersembunyi di balik kalimat prosedural. Dalam konteks ini, sudah saatnya Kapolri dan Presiden RI turun tangan. Evaluasi tidak cukup. Menurut saya, Kapolda Gorontalo harus dicopot.
Perlu saya tegaslan bahwa ini bukan persoalan pribadi, tapi tanggung jawab institusional. Polda adalah simbol tertinggi kepolisian di daerah. Jika simbol itu gagal, maka harus diganti agar tidak ikut menjadi bagian dari kegagalan itu sendiri.
Demokrasi tidak bisa bertahan jika ruang publik diwarnai teror. Apalagi jika teror itu dibiarkan hidup dan membusuk dalam pembiaran institusi. Ini bukan hanya soal tambang, tapi soal keberlangsungan keadilan sosial di Gorontalo pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Menurut saya, membiarkan Kapolda tetap menjabat di tengah situasi seperti ini adalah bentuk kompromi terhadap ketidakadilan. Sebaliknya, pencopotan Kapolda adalah langkah konkret untuk menunjukkan bahwa negara tidak tunduk pada premanisme, bahwa hukum masih bisa dipercaya, dan bahwa demokrasi masih layak diperjuangkan.
Maka kami tak sekadar meminta, kami mendesak: copot Kapolda Gorontalo sekarang demi menyelamatkan gagasan tentang negara hukum. Sebab bila hukum dikalahkan oleh kekuasaan, maka bisa dipastikan, mahasiswa yang jadi korban hari ini adalah permulaan, berikutnya rakyat akan jadi korban.
#CopotKapoldaGorontalo
#SelamatkanDemokrasi
#UsutKekerasanAktivis